Proyek pengadaan lima unit kapal di Dinas
Perikanan dan Kelautan Pemkab Banyuwangi tahun anggaran 2006 lalu yang nilainya hampir mencapai Rp 2 milyar, hingga kini masih
menyisakan permasalahan. Mengingat, diduga sarat dengan
rekayasa dan adanya indikasi
praktik tindak pidana korupsi.
Meski sudah dilaporkan dan diproses di ranah hukum hingga akhirnya seorang
nelayan menjadi “tumbal”-nya, namun lantaran dianggap proses hukum tidak
berjalan sebagaimana mestinya, akhirnya kini dipersoalkan kembali. Lantas
seperti apakah tengara dugaan tindak pidana korupsi pada pengadaan lima unit
kapal tersebut? Berikut catatan Den Maz ( Pemred, BALI NASIONAL News ) dengan mengacu pelbagai referensi dan narasumber ( Bag 1 ).
“Saya sempat senang waktu itu, ternyata dari surat
yang saya kirimkan, akhirnya nelayan yang menjadi korban itu dibebaskan. Tetapi
yang paling menyakitkan, terutama nelayan, katakanlah Sukamad ini selaku
pengguna atau pengelola satu unit, kenapa kok
dituduh semua, mana yang empat unit itu. Padahal semua itu bermasalah, bukan hanya satu
Sukamad ini, satu unit itu. Semuanya
bermasalah. Makanya ada apa di balik ini kok
Sukamad dikorbankan,” sesalnya keheranan.
Persoalan pengadaan lima buah
unit kapal di Dinas Perikanan dan Kelautan Pemkab Banyuwangi tahun 2006 dengan
nilai Rp 1.957.426.255,- yang konon dibeli dari Kalimantan itu dapat dikatakan
persoalan yang unik. Hal itu dikarenakan mulai awal pengadaan hingga
pelaksanaannya diduga penuh dengan rekayasa. Bahkan, seorang nelayan menjadi
“tumbal” dan harus menjalani hukuman di Lapas Banyuwangi akibat persoalan kapal
itu selama empat bulan lebih. Yakni dengan tuduhan tindak pidana korupsi.
Selain itu, proyek pengadaan
alat angkut apung bermotor berupa lima unit kapal yang diberi nama “Armada
Perintis Sistem Perikanan Tangkap IZEE” yang rencana awalnya ditujukan untuk
penyuluhan kepada masyarakat nelayan khususnya di Kabupaten Banyuwangi. Namun ternyata kondisinya sangat memprihatinkan. Yakni,
tidak sesuai dengan bestek atau rancangan awal dalam pembuatan kapal. Sehingga
kelima unit kapal tersebut tidak layak untuk beroperasi di laut. Apalagi untuk
beroperasi di wilayah IZEE, 200 mil dari garis pantai di Samudera Indonesia.
Sehingga program pemerintah
dalam merintis usaha penangkapan ikan di wilayah IZEE yang menggunakan dana
APBD tahun anggaran 2006 tersebut tak ubahnya sebagai proyek gagal. Selain
kondisi fisik yang memprihatinkan, harga kapal yang didatangkan dari Kalimantan
itu pun diduga sangat tidak masuk akal. Yakni sebesar Rp 391.485.251,- per
unit. Anehnya lagi, keberadaan kelima unit kapal tersebut hingga kini ternyata tidak
diketahui di mana rimbanya.
Hal tersebut diungkapkan oleh mantan
Kepala UPTD Dinas Perikanan dan Kelautan Pemkab Banyuwangi di Wilayah Kecamatan
Muncar, Pesanggaran, dan Purwoharjo, Ir. Achmad Amar. Oleh karenanya, hingga
saat ini dia terus getol berupaya memperjuangkan kasus tersebut agar
pihak-pihak yang bertanggungjawab di balik pengadaan kapal itu untuk segera
diproses secara hukum.
Dikatakannya, sejak awal pelaksanaan
pengadaan kapal yang bernilai miliaran rupiah itu, selaku Kepala UPTD yang
memperoleh bantuan kapal tersebut, justru ia tidak mengetahuinya sama sekali. Diakuinya,
sejak dirinya menjabat sebagai Kepala UPTD pada 1 Oktober 2004 , dirinya tidak
pernah difungsikan sebagai Kepala UPTD. Anehnya, kegiatan di wilayah kerjanya
ternyata tetap berjalan terus.
“Saya sebagai mantan Kepala
UPTD, yang mana di Perda itu, punya wilayah saya. Paling tidak, dalam
penyerahan kapal ini, walaupun saya tidak diberitahu dalam pengadaannya berapa,
seperti apa kapalnya, dalam penyerahan kepada nelayan paling tidak saya sebagai
saksi di sini. Apa benar ini diserahkan, kan
gitu? Ini tidak, diserahkan sendiri, saya tidak pernah tahu,” ungkap Amar saat datang ke
kantor Dhuta Ekspresi dengan
penuh keheranan.
“Jadi menurut saya, ini sudah
ada niat yang kurang baik dari dinas untuk merekayasa dalam pengadaan ini. Sehingga muncul
adanya kasus seperti ini. Jadi yang paling banyak tahu dalam persoalan ini
adalah kepala dinas,” tambahnya.
Di sisi lain, berdasarkan
informasi dan data yang diperolehnya selama ini, ternyata sejak awal diserahkan
kepada nelayan. Namun kelima kapal tersebut tidak
dapat dioperasikan. Akibatnya kapal-kapal tersebut menjadi mangkrak dan banyak
yang rusak. Seperti papan penutup bagian atas kapal yang rusak dan hilang, lalu bagian lambung kapal mulai pecah, dan tanpa
dilengkapinya tali pengikat sebagai pengamanan kapal yang diparkir.
“Itu kapal waktu penyerahan
dulu kepada nelayan di masing-masing wilayah itu, ternyata miring. Bahkan sudah tidak sesuai dengan body kapal. Dengan
kondisi seperti itu apa ya mungkin dibuat melaut ke samudera lepas. Taruh saja
200 meter dari pantai dalam kondisi aman ke arah laut, paling dalam hitungan
jam saja akan tenggelam kapal itu,” tandasnya.
Apalagi akibat dari pengadaan
kapal yang diduganya penuh dengan rekayasa tersebut telah mengorbankan nelayan
selaku pengguna dan pengelolanya. Yakni Sukamad, warga Dusun Pancer RT 004/003,
Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran hingga sampai ditahan selama empat
bulan lebih. Sehingga dia memutuskan untuk melaporkannya ke aparat penegak
hukum di negeri ini. Mulai dari Presiden, KY (Komisi Yudisial), Kejaksaan Agung,
Ombusdman, LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), Kapolri hingga ke KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi). Yakni, terkait pelanggaran Perda serta dugaan
korupsi.
“Agar aparat penegak hukum ini
segera mengusut dan menindak tegas pihak-pihak yang terkait atas kegagalan
proyek ini. Mulai dari awal pengadaan sampai penyerahan kepada nelayan. Karena
banyak pelanggaran dan adanya dugaan penyimpangan korupsi di sini.
Alhamdulillah, ternyata ombudsman, Kapolri, dan KPK merespon surat-surat yang
telah saya kirimkan,” tegasnya sambil menunjukkan lima buah bukti surat balasan
dari KPK yang diterimanya selama 2011.
Jabatannya Tak Pernah Difungsikan, Pilih
Pensiun Dini
Dalam pengakuannya, selama
menjabat sebagai Kepala UPTD pada 1 Oktober 2004, Ir. Achmad
Amar mengaku tidak pernah difungsikan sebagai Kepala UPTD Dinas
Perikanan dan Kelautan di wilayah Kecamatan Muncar, Pesanggaran, dan Purwoharjo
tersebut. Sehingga adanya pengadaan lima unit kapal di wilayah kerjanya itu
justru diketahuinya dari nelayan yang bertanya kepadanya terkait hilangnya kapal
perikanan yang diserahkan kepada nelayan waktu itu.
“Nelayan itu tanya sama saya, Pak,
kapal perikanan yang hilang apa sudah ketemu? Saya kan kaget di sini. Lho,
waktu dalam pengadaan dan penyerahan kepada nelayan saya tidak pernah tahu,
tapi kok sekarang dibilangi hilang
katanya. Dengan hilangnya kapal ini kan
saya bingung mencari di mana sih sebenarnya kapal yang ada ini,” ungkap Amar
kepada wartawan ini memulai pembicaraannya.
Atas kejadian itu, ia pun langsung
melaporkannya ke Kepala Bidang Portala di Pemkab Banyuwangi. Tetapi, oleh
Portala ia disarankan untuk melaporkannya ke Kepala Badan Pengawas (Banwas),
waktu itu dijabat Ir. Herman Sulistiyono. Dua bulan berlalu, laporannya tidak
pernah ada kabar beritanya. Makanya ia memberanikan diri menghadap (waktu itu)
Bupati Ratna Ani Lestari di pendopo Sabha Swagatha Blambangan, dan diterima
oleh ajudan bupati. Ternyata, suratnya itu mendapat respon dari Bupati Ratna
dan ditindaklanjuti ke BKD hingga akhirnya kembali lagi ke Banwas.
“Waktu itu Pak Herman datang
kepada saya dan menuding kepada saya, gara-gara sampean ini saya dimarahi
bupati. Karena saya juga marah, saya balas, meskipun dia kepala dinas, saya
balik tanya. Kenapa surat saya tidak disampaikan kepada bupati? Dari mulutnya
itu sudah tidak keluar lagi kata-katanya itu. Itu ada stafnya, berarti dia
merasa malu pada stafnya. Akhirnya dia keluar dari ruang stafnya itu dengan
tanpa mengeluarkan kata-kata lagi,” urainya berterus terang.
Tiga bulan berlalu, ia pun
mengirimkan surat lagi ke bupati untuk mempertanyakan suratnya yang telah sampai
di Banwas namun tidak juga ditindaklanjuti. Tetapi, suratnya itu tidak kunjung
mendapat tanggapan. Karena merasa upayanya untuk mencari keadilan tidak
mendapat respon, akhirnya terhitung sejak 1 Oktober 2008 ia pun mengajukan
pensiun dini.
“Daripada saya sakit hati, akhirnya saya mengundurkan diri dari Kepala UPTD dan
PNS. Setelah itu akhirnya saya cari sebenarnya di mana keberdaan kapal ini.
Ternyata di Pancer itu ada dua kapal yang mangkrak di sana. Dengan mangkraknya
dua kapal tersebut, saya telusuri-telusuri ternyata ada nelayan yang
ditahan pada akhir 2008 lalu. Dan nelayan itu pun dituduh tindak pidana korupsi,”
tandas Amar penuh
keheranan.
Atas dasar itulah, Amar
bertekad untuk mengungkap adanya dugaan tindak pidana korupsi pada pengadaan
lima unit kapal di tempat kerjanya dulu. Yakni berawal dari surat pernyataan yang
dikirimkannya ke Kejari Banyuwangi pada 17 Maret 2009 tentang kronologis
seputar pengadaan kapal. Ternyata, berdasarkan surat yang dikirimkannya itu,
nelayan yang telah ditahan selama empat bulan lebih tersebut akhirnya
dibebaskan.